Rabu, 19 Agustus 2015

Lebah vs Lalat

Penulis: Made Teddy Artiana
01:00 WIB | Selasa, 27 Mei 2014

Lebah vs Lalat

Lebah di bunga matahari (foto: istimewa)
SATUHARAPAN.COM – Menyaksikan tayangan dunia binatang di televisi kerap membawa kita pada sebuah pencerahan. Kehidupan lebah misalnya. Lewat instingnya, akan selalu menemukan bunga, sebagai makanannya. Oleh instingnya, kehidupan lebah pun berkutat di seputar: bunga, madu, bunga, madu… dan seterusnya. Lain halnya dengan lalat (bukan lalat buah). Lantaran insting pula, lalat bagaimanapun juga akan menemukan kotoran. Sejauh-jauhnya lalat terbang, ujung-ujungnya selalu akan mendarat di kotoran.
Mari kita lupakan sejenak insting kedua binatang tadi! Sekarang kita coba aplikasikan dalam kehidupan manusia. Sebagai manusia kita memiliki kehendak bebas dari Sang Pencipta.  Kebebasan memilih apa pun yang akan kita masukkan di hati kita. Kita bebas menafsirkan segala sesuatu yang terjadi sesuka-sukanya. Bahkan Tuhan sekalipun, tidak mendikte isi hati kita.
Jika demikian, hati kitalah yang akan menentukan berkutat dalam hidup seperti apa kita sekarang dan nanti. Itulah sebabnya, ada orang yang mulia, sukses, sehat dan bahagia. Namun, ada juga yang gagal, sakit-sakitan, kekurangan, dan tidak merasa bahagia. Tentu itu semua itu bukan kebetulan karena tidak ada yang kebetulan dalam hidup ini. Semuanya rangkaian sebab dan akibat. Terlalu naif pula, jika perbedaan ”status” kehidupan itu melulu kita kaitkan pada sebuah variabel: kerja keras. Tanpa sikap hati yang benar, kerja keras terbukti hanya melelahkan kita saja.
Adalah bijak untuk selalu mengaktifkan, membiasakan, memperkuat ”insting lebah” kita. Supaya betapapun keadaannya, kita akan selalu menemukan bunga untuk menghasilkan madu. Dalam arti kehidupan yang bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain.
Kita tentu tidak ingin kehidupan kita seperti lalat, berkutat dalam kotoran, sampah, bau busuk, pergaulan buruk, perkawinan yang berantakan, kesehatan yang menyedihkan, kesulitan finansial, hidup yang morat-marit, dan berakhir pada kehinaan. Kehinaan yang tentu turut menyebarkan penyakit (pengaruh buruk) bagi orang lain
Jika demikian, maka kesimpulannya adalah bagaimana menjaga hati kita. Itu sejalan dengan peringatan Raja Sulaiman: ”Jagalah hatimu, dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan.”

Editor: ymindrasmoro

Hukuman ala Suku Babemba

Penulis: Made Teddy Artiana01:00 WIB | Rabu, 05 Agustus 2015

Hukuman ala Suku Babemba

Semua orang bisa berbuat salah.
Suku Babemba (foto: istimewa)
SATUHARAPAN.COM – ”Bagaimana mungkin aku melupakan kejadian itu. Kaulah yang menyelamatkan ayahku dari terkaman harimau!”
”Ketika rumah kami terbakar, kaulah satu-satu orang yang berani menerobos masuk dan membawa keuar bayi kami.”
”Yang paling aku ingat dari dirimu adalah ketika kami sekeluarga kelaparan karena ladang gagal panen, kau dengan senang hati berbagi makanan dengan kami setiap harinya.”
Suku Babemba di Afrika mempunyai ritual menghukum yang unik. Jika seseorang kedapatan melanggar adat atau melakukan kesalahan, maka penduduk desa berkumpul disekelilingnya. Kemudian mereka diberi kesempatan untuk menceritakan semua hal baik yang dahulu pernah dilakukan Si Pembuat kesalahan. Tidak boleh ada yang mengucapkan tuduhan atau hal buruk, semua hanya mengatakan yang baik-baik saja. Setelah  semua orang kebagian untuk ”mengata-ngatai” orang itu, mereka pun meninggalkannya seorang diri untuk merenung.
Sekarang tengoklah sekitar kita, masyarakat modern yang jauh lebih terpelajar. Bagaimana kita memberlakukan sebuah penghukuman? Begitu jauh berbeda dari apa yang dilakukan oleh suku Babemba. Jangankan untuk mengatakan hal yang baik, yang membangun, kita cenderung melampiaskan amarah kita kepada mereka yang bersalah. Bahkan tidak jarang kita menghina dan merendahkan mereka secara pribadi. Tidak perduli keluar dari konteks, yang penting kita puas. Penghukuman yang sangat destruktif.
Yang lebih aneh lagi adalah kemudian kita berharap dari kecaman tanpa ampun yang kita lakukan, orang yang bersalah itu dapat memiliki motivasi dan harga diri yang utuh untuk memperbaiki kesalahan mereka. Seharusnya kita sadar bahwa sampai kapan pun kecaman, ancaman yang membuat trauma, kata-kata negatif, penghinaan tidak akan mengantarkan siapa pun ke arah yang lebih baik. Semua itu lebih mungkin mengantarkan seseorang untuk membenamkan diri lebih dalam di kubangan lumpur, dibandingkan membuatnya kuat dan percaya diri untuk bangkit kemudian berjalan lagi.
Semua orang bisa berbuat salah. Namun, hanya sedikit dari mereka yang mau mengakui dan menarik pelajaran dari kesalahan. Dan lebih sedikit lagi orang bijak yang sanggup memperlakukan orang yang bersalah dengan tepat.

Editor: ymindrasmoro

Kualitas Tertinggi

Penulis: Made Teddy Artiana01:00 WIB | Kamis, 11 Juni 2015

Kualitas Tertinggi

Manusia merupakan ciptaan dengan kualitas tertinggi.
Kualitas Unggulan (foto: istimewa)
SATU HARAPAN.COM – Silakan sejenak menengok ke layar televisi Anda, atau radio, majalah, koran, gawai di tangan Anda. Hampir setiap menit pikiran kita dibombardir oleh iklan. Ke mana pun kita berpaling, selalu saja ada ”jualan” dengan iming-imingan. Persoalannya, apakah setiap iklan produk, jasa, atau apa pun yang ditawarkan itu adalah produk berkualitas dan terjamin mutunya. Jawabannya jelas: belum tentu. Tetapi, apa pun itu, kualitas sering kali bukan menjadi hal yang terutama lagi. Seolah yang terpenting adalah sesering atau sekeras apa Anda meneriakkan janji.
Sekarang bandingkan dengan sebuah tips marketing yang diberikan seorang raja bijak, Sulaiman, yang menyatakannya dalam Kitab Amsal:  ”Pernahkah engkau melihat orang yang cakap akan pekerjaannya? Di hadapan raja-raja ia akan berdiri dan bukan di hadapan orang hina” (Ams. 22:29).
Kalimat ini mengisyaratkan bukti dan bukan janji. Raja Sulaiman menasihati kita untuk selalu mementingkan kualitas dari pekerjaan kita. Bahwa ketika kita berfokus pada kualitas, maka popularitas (publisitas) akan selalu mengikutinya.
Jika kita mau memerhatikan, ternyata Tuhan, Sang Pencipta, pun selalu bekerja dalam sebuah standar kualitas tinggi. Tengoklah binatang, pepohonan, makhluk hidup, dan alam semesta, semuanya dijadikan amat sangat baik adanya. Lalu manusia, sebagai puncak karya-Nya, merupakan hasil dari sebuah standar kualitas yang sangat tinggi.
Itu berarti, kualitas bukan semata-mata ”barang (jasa) bagus yang menghasilkan duit”, namun memiliki dimensi ilahi yang agung. Setiap pekerjaan yang berkualitas tinggi akan selalu memuliakan Sang Pencipta, sedangkan pekerjaan yang berpusat hanya pada uang dan mengabaikan kualitas akan merendahkan nilai kemanusiaan serta menghina Sang Pencipta manusia itu sendiri.
Sungguh masuk akal jika kita dituntut melakukan segala sesuatu (pekerjaan) dengan standar tinggi. Bukankah kita memang telah diciptakan-Nya dengan kualitas tertinggi?

Editor: ymindrasmoro

Empati dalam Berkomunikasi

Penulis: Made Teddy Artiana01:00 WIB | Selasa, 30 Juni 2015

Empati dalam Berkomunikasi

Salah satu kebutuhan terdalam manusia adalah hasrat untuk dimengerti.
Berempati (foto: istimewa)
SATU HARAPAN.COM – ”Saya ulangi. Satu gado-gado lontong, pedas, tanpa tempe, pakai tahu. Satunya lagi gado-gado tidak pedas dengan nasi, tanpa tahu, pake tempe. Minumnya: satu jus alpukat, tanpa gula, dengan es dan pakai susu. Satunya lagi, jus alpukat tanpa es, pakai gula, tanpa susu. Begitu?” pelayan rumah makan itu memastikan pesanan ribet kami dengan hati-hati. Tentu ia berusaha untuk tidak melakukan kesalahan. Jika salah, ada dua pihak yang akan memarahinya—atasannya dan kami pelanggannya.
Komunikasi, walau sering dilakukan, ternyata bukan hal yang sederhana. Selama kita masih hidup di dunia dan berhubungan dengan manusia, komunikasi tentu tidak dapat dihindari. Kekeliruan dalam komunikasi, tidak hanya membuat hubungan antarmanusia jadi terganggu, namun juga sangat berbahaya. Perselisihan, permusuhan, bahkan peperangan, bisa menjadi ujung dari komunikasi yang tidak efektif.     
”Adalah sangat penting untuk belajar mengerti terlebih dahulu, baru kemudian dimengerti,” tulis Stephen Covey dalam buku legendaris The Seven Habits of Highly Effective People.Menurut Covey, kita tidak akan mungkin bisa mengerti seseorang dengan sepenuhnya, tanpa dengan tulus bersedia mendengarkannya.
Renungkan sesaat. Betapa sering kita melakukan kekeliruan penafsiran (bias) seperti itu. Kita tidak sedang berusaha sungguh-sungguh mengerti. Kita bersimpati, jika itu berkenan di hati; atau berantipati, jika tidak sesuai dengan nilai-nilai kita.
Empati adalah hal sungguh yang dibutuhkan. Melihat sesuatu dari perspektif orang lain. Proses komunikasi yang berangkat dari ketulusan untuk memahami. Terlepas dari sebuah persetujuan dan berbagai perbendaharaan emosi dari gudang penyimpanan pribadi.
Contoh empati dapat kita temukan dalam diri seorang penerjemah. Penerjemah bertugas memahami kemudian menerjemahkan percakapan klien mereka tanpa terlibat dengan berbagai muatan emosi di dalamnya.
Karena salah satu kebutuhan terdalam manusia adalah hasrat untuk dimengerti, empati tentu akan menciptakan berbagai mukjizat kemanusiaan.

Editor: ymindrasmoro

”Aaauuuwwww...!”

Penulis: Made Teddy Artiana01:00 WIB | Kamis, 09 Oktober 2014

”Aaauuuwwww...!”

Sampah yang tertelan, lalu tersimpan rapi di bawah sadar, membebani kehidupan kita selanjutnya.
Serigala yang melolong (foto: istimewa)
SATUHARAPAN.COM – Tak ada alunan musik. Cahaya ruangan terasa temaram, lantaran lampu sudah ada yang dipadamkan. Bangku resto sudah terlihat banyak yang kosong. Di beberapa sudut malah kursi sudah naik dan tersusun rapi di atas meja. Makan malam kami kali ini memang terbilang agak terlambat. Untunglah beberapa orang masih terlihat menunggu pesanan. Tiba-tiba...
”Aaaauuuuuuuuuuuuuuwwwwww...!”
”Aaaauuuuuuuuuuuuuuwwwwww...!”
”Aaauuuuuuuuuuuuuuwwwwww...!”
Lolongan serigala terdengar bergema. Karyawan dan pengunjung resto terperanjat. Reaksi mereka beragam. Ada yang mengelus dada mengisyaratkan kekagetan. Ada pula yang menutup telinga dengan kedua tangan, sambil ngedumel kesal. Sebagian mereka mengernyitkan dahi. Mereka semua celingukan mencari sumber suara yang merusak suasana resto.
Di salah satu sudut ruangan, terhalang tiang, tampak seorang anak kecil berwajah jenaka. Di tangan mungilnya tampak gadget. Mata terpejam, mulut dimonyong-monyongkan dan gerakan leher naik turun, meniru ”bahasa tubuh” serigala yang melolong, diselilingi tawa cekikikan bocah yang tak perduli sekitar.
Dua tanggapan berbeda berkenaan dengan situasi dan kondisi yang sama: lolongan serigala. Marilah kita luangkan waktu untuk mengintrospeksi diri! Dari situ mungkin kita akan menemukan betapa kita sering tidak sadar akan ”derajat ketercemaran” diri sendiri. Faktanya, setelah puluhan tahun hidup, kita telah terisi tidak melulu dengan hal-hal baik yang memberdayakan, namun juga hal-hal yang sama sekali tidak memberdayakan yang sering tak teruji kebenarannya. Tidak hanya takhayul namun juga keyakinan-keyakinan yang keliru tentang hidup, identitas diri, sesama, bahkan Pencipta. Sampah yang tertelan, lalu tersimpan rapi di bawah sadar, membebani kehidupan kita selanjutnya.
Tak heran, Raja Daud, penulis kitab Mazmur, memohon kepada Allah: ”Siapakah yang mengetahui kesesatan? Bebaskanlah aku dari yang tidak kusadari.” Hanya Sang Penciptalah yang sanggup membersihkan kita secara tuntas terhadap segala bentuk kecemaran. Sayangnya hanya segelintir orang yang menyadari hal itu.

Editor: ymndrasmoro

Kisah-kisah dari Penjara

enulis: Made Teddy Artiana01:00 WIB | Jumat, 05 Desember 2014

Kisah-kisah dari Penjara

Penjara tidak selalu berarti jeruji besi. Segala sesuatu yang dirasa mengekang dan menyiksa dapat dikategorikan sebagai penjara.
Foto: istimewa
SATUHARAPAN.COM – Nelson Mandela dipenjara lantaran politik dan perbedaan warna kulit. Konon ia sempat dikencingi di dalam penjara. Uniknya, setelah Nelson Mandela menjadi presiden, orang yang mengencingi Mandela malah diangkat menjadi salah satu pejabat penting di negara itu. Penjara tidak sanggup menanamkan kebencian dalam jiwa Mandela. Ia bahkan keluar dari balik jeruji penjara sebagai pemenang.
Victor Frankl, dalam penjara—lebih tepatnya kamp konsentrasi—Nazi, disiksa hanya karena ia keturunan Yahudi. Orangtua, istri, dan sanak saudara habis dibantai dengan cara mengerikan. Man Search for Meaning adalah buku hasil perenungan Frankl yang menginspirasi banyak orang. Bahwa seburuk apa pun yang terjadi pada diri kita, manusia selalu diberikan kemerdekaan untuk bersikap dan bereaksi.
Yusuf anak Yakub tak hanya berstatus ”terdaftar” dalam tiga agama di dunia, namun juga ”disegani” sebagai nabi. Yusuf dipenjara lantaran fitnah—dituduh berzinah dengan istri majikannya. Namun demikian, justru dari penjara itulah Yusuf dapat langsung terbang tinggi ke kursi Perdana Menteri Mesir setelah menerjemahkan mimpi Firaun. Kehidupan Nabi Yusuf dikenang abadi sampai saat ini.
Paulus, salah satu tokoh kekristenan yang begitu berpengaruh, keluar masuk penjara, tak terhitung jumlahnya, juga mengalami siksa aniaya yang luar biasa. Namun, justru di dalam penjara, Paulus mampu menuliskan surat-surat yang hingga saat ini dijadikan pedoman hidup ratusan juta manusia di muka bumi. Salah satu kalimat kontroversial paling terkenal, yang ditulisnya dari bilik penjara adalah ”Bersukacitalah senantiasa!”
Penjara tidak selalu berarti jeruji besi. Segala sesuatu yang dirasa mengekang dan menyiksa dapat dikategorikan sebagai penjara. Kesulitan, kebangkrutan, keterbatasan, cacat, kemiskinan, dan lain sebagainya. Seperti beberapa teladan tadi, penjara juga dapat berakibat positif. Syaratnya adalah menata sikap hati. Hanya lewat sikap hati yang benarlah, penjara dapat melahirkan efek dahsyat dalam diri seseorang.

Editor: ymindrasmoro

Belajar Diam

Penulis: Made Teddy Artiana01:00 WIB | Minggu, 06 April 2014

Belajar Diam

Mendengarkan alam (foto:pixabay.com)
SATUHARAPAN.COM – Dua belas hari di Bali membawa begitu banyak pelajaran buatku pribadi. Berada terpencil dalam vila sederhana dengan kanan-kiri-depan-belakang lahan persawahan, hutan, dan sungai membawa sebuah pencerahan luar biasa.
Pagi bertemankan belasan kicau burung yang berbeda, kukuruyuk ayam yang saling sahut, serta leteran bebek di sawah. Sementara bila malam menjelang, paduan suara kodok dan jangkrik mengambil alih shift jaga.
Suatu malam, saat ribuan bintang gemintang di langit dan kegelapan malam menggantikan tayangan hiburan TV dan peliknya konflik politik–dalam keheningan agung di salah satu pelosok Ubud, Bali itu–diri teringat Mazmur Daud yang membuat seluruh bulu kudukku berdiri: ”Diamlah dan ketahuilah, bahwa Akulah Allah! Aku ditinggikan di antara bangsa-bangsa, ditinggikan di bumi!.”
Tanpa kita sadari ternyata dunia memang terlalu gaduh. Pencapaian sukses terlalu sibuk. Ambisi terlalu berisik. Kepentingan terlalu keruh. Kekhawatiran begitu menjauhkan kita dari kedamaian. Menjauhkan kita dari Allah.
Tuhan tidak menyuruh kita untuk selalu duduk diam di kaki-Nya. Namun paling tidak, jangan sampai kesibukan ala Marta saudara Maria, membuat kita merasa memang ”harus” selalu sibuk.
Ironis memang. Manusia menciptakan sesuatu untuk mempermudah hidupnya, namun sesuatu itu kemudian berbalik mengejar hidup manusia bagaikan anjing mengejar pencuri. Senjata makan tuan.
Kemudian hidup menjadi tidak mudah, apalagi murah lagi bagi siapa pun. Kemudahan jadi ketergesaan. Teknologi komunikasi mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Lalu, hiburan justru membuat penuh buffer pikiran kita. Alhasil terciptalah manusia-manusia gelisah—sibuk namun rentan.
Kita menjadi demikian sulit hanya untuk sekadar diam. Sendirian bersama Allah. Padahal pada titik itulah terletak seluruh kekuatan untuk melanjutkan perjalanan hidup. Mendengarkan Tuhan adalah saat kritis. Jauh lebih kritis dari mendengarkan siapa pun dalam hidup ini. Dan salah satu caranya: pergilah ke alam!

Editor: ymindrasmoro