Rabu, 19 Agustus 2015

Empati dalam Berkomunikasi

Penulis: Made Teddy Artiana01:00 WIB | Selasa, 30 Juni 2015

Empati dalam Berkomunikasi

Salah satu kebutuhan terdalam manusia adalah hasrat untuk dimengerti.
Berempati (foto: istimewa)
SATU HARAPAN.COM – ”Saya ulangi. Satu gado-gado lontong, pedas, tanpa tempe, pakai tahu. Satunya lagi gado-gado tidak pedas dengan nasi, tanpa tahu, pake tempe. Minumnya: satu jus alpukat, tanpa gula, dengan es dan pakai susu. Satunya lagi, jus alpukat tanpa es, pakai gula, tanpa susu. Begitu?” pelayan rumah makan itu memastikan pesanan ribet kami dengan hati-hati. Tentu ia berusaha untuk tidak melakukan kesalahan. Jika salah, ada dua pihak yang akan memarahinya—atasannya dan kami pelanggannya.
Komunikasi, walau sering dilakukan, ternyata bukan hal yang sederhana. Selama kita masih hidup di dunia dan berhubungan dengan manusia, komunikasi tentu tidak dapat dihindari. Kekeliruan dalam komunikasi, tidak hanya membuat hubungan antarmanusia jadi terganggu, namun juga sangat berbahaya. Perselisihan, permusuhan, bahkan peperangan, bisa menjadi ujung dari komunikasi yang tidak efektif.     
”Adalah sangat penting untuk belajar mengerti terlebih dahulu, baru kemudian dimengerti,” tulis Stephen Covey dalam buku legendaris The Seven Habits of Highly Effective People.Menurut Covey, kita tidak akan mungkin bisa mengerti seseorang dengan sepenuhnya, tanpa dengan tulus bersedia mendengarkannya.
Renungkan sesaat. Betapa sering kita melakukan kekeliruan penafsiran (bias) seperti itu. Kita tidak sedang berusaha sungguh-sungguh mengerti. Kita bersimpati, jika itu berkenan di hati; atau berantipati, jika tidak sesuai dengan nilai-nilai kita.
Empati adalah hal sungguh yang dibutuhkan. Melihat sesuatu dari perspektif orang lain. Proses komunikasi yang berangkat dari ketulusan untuk memahami. Terlepas dari sebuah persetujuan dan berbagai perbendaharaan emosi dari gudang penyimpanan pribadi.
Contoh empati dapat kita temukan dalam diri seorang penerjemah. Penerjemah bertugas memahami kemudian menerjemahkan percakapan klien mereka tanpa terlibat dengan berbagai muatan emosi di dalamnya.
Karena salah satu kebutuhan terdalam manusia adalah hasrat untuk dimengerti, empati tentu akan menciptakan berbagai mukjizat kemanusiaan.

Editor: ymindrasmoro

Tidak ada komentar:

Posting Komentar